Friday, June 4, 2010

No Hero In Her Sky

Dua puluh tahun yang lalu, aku mengenalnya di sini. Kami berenang bersama, berangkat sekolah bersama. Setiap pagi, aku menunggunya menyeberangi muara dengan sampan. Muara itu memisahkan kota dan tempat ia tinggal, di kaki Gunung Padang.

Hingga umur kami delapan belas tahun. Kami merayakannya bersama di atas muara. Di atas Jembatan Siti Nurbaya yang baru saja diresmikan. Aku memegang tangannya dengan erat. Boleh jadi, saat itu, aku dan dia telah resmi berpacaran, bersamaan dengan peresmian Jembatan Siti Nurbaya yang ramai dihadiri Gusti Randa, Him Damsyik serta Novia Kolopaking, bintang-bintang yang terkenal lewat sinetron legendaris itu. Tapi buatku, dialah bintang hatiku.

Tapi di atas jembatan yang menyatukan hatiku dengan hatinya itu, kami berpisah. Bapak mengirimku ke Bandung untuk melanjutkan studi. Aku kehilangan dia. Itu bagai kisah Siti Nurbaya yang makamnya sering kami ziarahi bersama saat hari Valentine.

Bapaknya hanya nelayan, yang tak pernah kembali setelah berhari-hari di laut lepas. Kapalnya pun tak pernah lagi merapat ke Pantai Padang. Kata orang, ombak perairan Mentawai yang kejam telah menelan kapal bapaknya hingga tak tersisa.

Dengan ransel di pundak, aku menghampiri sosoknya yang tengah berdiri di tengah jembatan Siti Nurbaya itu. Matanya jauh menatap ke lepas Pantai Padang. Menunggu bapaknya pulang. Kemeja putihnya tertembus sinar mentari, rok biru mudanya berkibaran ke sana ke mari. Ujung rambutnya yang terhempas angin menyapa wajahku kala mendekat.

“Tania, aku harus pergi.”

Dia tak menoleh.

“Bapak menyuruhku melanjutkan studi di Jawa.”

Sebuah kapal kayu besar merapat di kejauhan. Itu pelabuhan kecil, tempat kapal-kapal yang menuju Kepulauan Mentawai merapat, menurunkan barang dan membawa penumpang.

“Janjimu belum terpenuhi, kamu belum menemaniku mencari bapak ke Mentawai,” katanya tanpa menoleh.

“Aku mencintaimu, aku akan kembali.”

Tania diam. Matanya masih jauh memandang ke depan. Langit biru pantai Padang terlihat indah. Aku merapat ke sampingnya. Menatap wajahnya yang kuning langsat dan bersih memantulkan cahaya mentari.

“Suatu hari, bapak pergi, memelukku dengan erat dan tak pernah kembali,”ucapnya. “Sekarang pergilah, tanpa perlu memelukku,” lanjutnya. Kemudian membalikkan badan dan pergi berlalu.

Aku menatapnya berlari turun menyusuri jembatan itu.


***

Di atas jembatan itu, berdiri tiang-tiang lampu hias yang semestinya menyala dengan indah. Tapi malam itu, suasana sangat gelap, lampu-lampunya tak dialiri listrik. Muara itu sungguh tenang, tak ada angin. Kapal-kapal yang bersandar tampak diam dan mati. Kota itu masih seperti yang dulu. Hiburan malamnya hanya suara debur ombak yang berjatuhan.

Aku membuka pintu kaca yang mengarah ke balkon. Menghirup udara segar namun gerah. Dari balkon hotel Pangeran ini, aku bisa melihat beberapa lampu kelap-kelip di kejauhan. Kapal-kapal nelayan tengah mencari ikan di lautan lepas.

Aku hendak menyalakan rokok, ketika bel pintu berbunyi.

Seorang laki-laki berjaket kulit hitam berdiri di ambang pintu, seringai tertempel pada sudut bibirnya.

“Tuan mencari saya?”

Aku mengangguk.

“Sudah lama tak pulang ke Padang?”

“Hampir lima tahun,” jawabku.

“Tuan pasti membutuhkan hiburan malam yang menyegarkan, saya akan sediakan buat Tuan.”

Aku hanya tersenyum.

“Sebentar lagi dia datang Tuan.”

“Masuk dan tunggulah, saya mau mandi,” kataku kemudian seraya membalikkan badan dan menuju kamar mandi.

***

Setengah jam kemudian, dengan berbalut handuk putih hotel, aku melangkah keluar kamar mandi. Lelaki berjaket hitam tadi tak lagi kutemukan, pintu kaca ke arah balkon terbuka lebar. Aku melangkah keluar.

Sesosok perempuan bertubuh tinggi, dengan rambut tergerai tampak berdiri, asap mengepul dari balik kepalanya. Bau rokok putih menerpa wajahku.

“Indah ya?’ kataku basa basi. Tak ada jawaban. “Padang tak pernah berubah, masih seperti dulu.”

“Kota yang membosankan,” kata perempuan itu, tiba-tiba. Dia membalikkan badan. Dan kulihat wajah itu.



Tania.

***

Lima tahun lalu aku meninggalkannya di sini. Di atas Jembatan Siti Nurbaya yang berdiri dengan megah dan angkuh.

Kini aku berdiri bersamanya lagi. Kali ini mataku yang jauh menatap ke bibir muara Pantai Padang. Dia berdiri di sampingku dengan badan berlawanan arah denganku. Dia tak lagi menunggu bapaknya pulang.

“Kenapa Tania?”

“Kamu terlambat lima tahun.”

“Kenapa Tania?”

“Kembalilah ke Jawa, pergilah.”

“Aku sudah kembali, bisakah kita memulai lagi?”

“Kamu tuli ya sekarang? Kamu terlambat lima tahun!”

“Tania…”

“Dengar ya, aku sudah bercinta degan banyak orang, aku pernah aborsi sekali, nggak ada yang aku percaya di dunia ini kecuali diriku sendiri dan ibuku. Bapakku pergi dan tak pernah kembali, kamu pergi dan tak juga kembali. Sekarang, pergilah.”

“Aku minta maaf Tania, sekarang apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki semuanya?”

“Terserah mau melakukan apa, pindah kota, atau lompat sekalian dari jembatan ini!” ujarnya ketus. “Pergilah!”

Usai berkata, Tania berlalu, seperti dulu, dengan setengah berlari, ia menyusuri jembatan itu. Rambutnya tergerai angin dengan indahnya. Aku menatapnya dalam diam.


***

Aku membalikkan badan, memegang pagar beton jembatan itu dan menjadikannya tumpuan kedua tanganku. Perlahan, sekali jejak, aku berhasil berdiri di atas pagar jembatan itu. Mengangkat kedua tangan sejajar bahu, dan menatap jauh ke depan. Dalam hitungan ketiga, aku bersiap untuk melompat!

Haruskah aku mati, untuk Tania?

Menurutmu gimana? Masih ada banyak cewek cantik di Jawa. Aku nggak mau mati sekarang, dimakamkan di Gunung Padang, dan makamku di ziarahi oleh anak-anak muda pada saat Valentine datang.

Aku membalikkan badan, melompat turun dari pagar jembatan, dan berlari turun menyusuri jembatan ke arah yang berlawanan dengan arah lari Tania.


Kami benar-benar berpisah sekarang.

~









Dipetik dari cerpen “No Hero In Her Sky”, karya Fajar Nugros (sutradarakacangan.multipl
y.com), dalam novel “I Only Sleep With Supermodel, cerita pendek berkisah panjang”, penerbitan Penerbit Pustaka Anggrek (anggota Ikapi), Yogyajakarta, cetakan I, 2009, hal. 222-226.

No comments:

Post a Comment